Friday, October 30, 2015

Peremajaan Sepasang Bangku Taman


Oleh: Zapheeker Sina Otto

Ada satu bangku taman dihalaman rumah-ku yang terbuat dari “cast iron” (besi coran) yang sudah tua (Gambar 1A). Lima tahun lalu, dia kubeli dengan harga murah-meriah dari “Garage Sale” (penjualan barang bekas) dari satu keluarga yang akan pindah dari kotaku ke kota lain. Walaupun bangku ini sudah tua waktu itu, dia masih berfungsi untuk tempat duduk2 keluarga kami untuk menikmati bunga2 yang mekar silih berganti di halaman pada musim semi dan juga untuk mengamati sayur2an dan buah2an yang tumbuh pesat dikebun. 


Gambar 1. (A) Bangku Lama dan (B) Bangku yang di beli di Garage Sale.

Beberapa minggu lalu salah satu teman-ku akan pindah dari rumah lama ke rumah baru. Temanku menggelar “Garage Sale” untuk menjual barang2 bekas yang tak akan dipindahkan kerumah baru-nya. Dia juga menjual bangku taman-nya yang serupa-tapi-tak sama dengan bangku taman-ku (Gambar 1B). Karena kemiripan bangku ini dengan bangku dihalamanku, bangku teman ini kubeli dengan harga murah meriah.


Gambar 2. (A) Cat2 yang dipakai dan (B–D) Kerangka besi yang sudah di cat. 

Karena sepasang bangku ini sudah tua, hal ini memotifasiku untuk meremajakan (merenofasi) mereka berdua dengan dana murah meriah. Untuk bagian papannya, kubeli 4 keping papan stok berasal dari kayu “cedar” yang berukuran 8 x 8 x 1, yang artinya artinya panjangnya 8 feet, lebar nya 8 inch dan tebalnya 1 inch. Sebenar-nya kalau diukur secara akurat tebal papan ini adalah ¾ inch. Papan cedar adalah papan yang acapkali digunakan di ruang terbuka karena tahan lama di berbagai cuaca dan tak akan dimakan rayap.


Gambar 3. Proses instalasi bangku

Satu bangku membutuhkan 7 keping papan sepanjang 4 ft. dan selebar 2.5 inch dan dua keping sepanjang 1 ft. x 2.5 inch. Dua papan stok yang panjangnya 8 ft. di belah dua menjadi 4 ft. dan lebarnya dibelah menjadi selebar 2.5 inch dengan gergaji listrik (Radial Arm Saw). Dua ujung setiap keping di bor untuk membuat lobang2 sekrup yang mengikat setiap keping ke tiga kerangka2 besi (metal frame). Kemudian, setiap keping ku proteksi dengan cat transparan yang terbuat dari polyurethane polimer.

 Kedua bangku tua ini ku bongkar sehingga kerangka metal terpisah dari kesembilan keping papan tempat duduk dan sandaran. Tiga kerangka besi (cast iron) ku cat dengan cat semprot kaleng yang special untuk besi dengan meggunakan tiga warna: hijau tua, hitam, dan aqua (Gambar 2A). Petama-tama semua bagian besi di semprot dengan cat hijau tua yang megkilat (enamel) sehingga diseluruh liku2 besi dicat. Setelah cat hijau ini kering, kerangka besi disemprot dengan cat bintik2 hitam. Untuk menghasilkan patern bintik2 hitam, tombol penyemprot harus hati2 ditekan dengan sangat lemah sehingga menghasilkan pola bintik2. Untuk mencapai hasil pola bintik2 yang memuaskan memang membutuhkan latihan menyemprot. Setelah cat bintik2 hitam kering, kerangka besi di semprot bintilk2 dengan cat aqua sehigga memberikan pola bintik hitam caur aqua seperti di gambar berikut (Gambar 2C).

Setelah semuanya cat kering, aku merakit keping2 papan dengan tiga kerangka besi dari setiap bangku dengan baut dan sekrup. Instalasinya sangat mudah karena hanya meggunakan sekrup dan baut.


Gambar 4. Hasil bangku2 yang sudah dirakit kembali

Sim-Salabim!!! Bangku2 tua bisa disulap jadi bangku2 antik baru yang cukup berfungsi dihalaman-ku. Itung2 dengan dana murah meriah dan sedikit effort (kemauan), mungkin2 mereka akan bertahan dihalamanku sekitar 5 sampai 10 tahun mendatang!!

Dengan dedikasi waktu sedikit yang sudah tua pun bisa di renofasi menjadi menarik dan kelihatan baru. Jadi, kita tak harus selalu membeli barang yang baru.

Selamat merenofasi dan salam sejahtera!


 v.v

Tuesday, October 20, 2015

Zapheeker Pergi ke Amrik?


Oleh: Zapheeker Sina Otto

Memang dari kecil si Zapheeker bukan orang yang pendiam hanya dia jarang banyak berbicara apa yang tak perlu dibicarakan. Menurut orang Amirk, “Zapheeker is a doer not a talker.” Kelemahan si Zapheeker adalah dia selalu menyimak dan merekam perbincangan di lingkungan-nya dan hampir mirip2 orang mempunyai photographic memory. 


Ibu Zapheeker adalah seorang bidan yang bernama Jaboting yang sehari-hari kerja di Puskesmas untuk Balita di Medan. Ibu Bidan Jaboting terkenal di kampungnya dan di kampung2 sekitarnya karena Ibu ini selalu dipanggil siang dan malam untuk menolong ibu2 yang  akan melahirkan bayi mereka. Untuk mengikuti jejak ibunya si Zapheeker pengen jadi dokter, tapi apa daya dia nggak lulus masuk fakultas kedokteran di universitas terkenal di Jakarta. Alhasil, dia bisa diterima di Jurusan Kimia di Universitas yang sama.


Setelah selesai sarjana muda dan sedang menyelesaikan kuliah untuk sarjana, si Zapheeker di kasi kerjaan ngurisin instrumentasi2 untuk analisa di departemen-nya. Zapheeker berlajar sedikit banyak tentang elektronika dari bapak-nya yang bernama Jaradio. Jaradio pernah punya toko radio di sentral pasar dekat percetakan Surat Kabar terkemuka di Medan. Acapkali, kalau ada alat2 yang rusak di laboratori, si Zapheeker bisa memperbaiki alat2 tersebut sebelum memanggil ahli (service person) dari perusahan yang memproduksi alat tersebut. Terkadang, persoalan elektronika yang sukar2 bisa tanyakan-nya ke abang kandung-nya si Zalectro.


Zalectro sudah kuliah di Jakarta dibidang Elektro sebelum Zapheeker ke Jakarta. Zapheeker bergabung sekolah di Jakarta dengan kedua abangnya Zalectro dan Jasekui. Zalectro adalah orang yang kreatif yang bisa dikategorikan sebagai “Electronic Wizard’; karena apapun alat electronika yang diperlukan, dia bisa buat atau rakit dengan membeli suku cadang dari Glodok. Kalau problem kecil2an, Zapheeker tak perlu nanya ke Zalectro; hanya problema electronika yang rumit2 saja baru-lah dia menanya ke Zalectro. Kalau Zasheqiu, orangnya pintar bicara dan berdiplomasi, maklumlah dia anak fakultas hukum dan suka ber-sekiu sekiu siang malam alias main radio amatir citizen band yang dirakit oleh si Zalectro dari komponen2 yang dibeli murah di Glodok.


Sekitar bulan July, Zapheeker sedang melakukan riset di laboratory kimia bahan alam untuk menyelasaikan thesis sarjana-nya yang tujuan-nya mengisolasi dan menentukan struktur senyawa kimia (seskuiterpene) yang tekandung di lada piper cubeba. Lada ini bisa di beli di Pasar Besar di Bogor. Dasar alasan penelitian adalah “karena lada piper cubeba in sering di gunakan di pulau jawa untuk mengobati sakit perut, maka si Zapheeker dan Dosen pembimbing-nya ingin meneliti senyawa2 apa yang terkandung di lada ini.” Hypotesanya adalah “satu atau beberapa senyawa2 kimia yang dikandung oleh lada ini kemungkinan mempunyai khasiat sebagai obat sakit perut.”


Suatu sore, Ketua jurusan (Kajur) dari departemen masuk ke laboratori penelitian-nya mengatakan, “Zapheeker, ini ada Professor Wilkinson akan datang dari Departement of Chemistry, University di US bulan September. Dia dari kimia Analisis, kamu saya tugaskan untuk memberikan penjelasan tentang intrument2 yang kita miiki di depertemen kita. Kamu berikan tour tentang instrumentasi2 yang ada di Jurusan kita yah.”


Dagu si Zapheeker terjatuh dan mulut-nya tercengang lebar. Jantung si Zapheeker ber-gedebak-gedebuk seperti baru lari “sprinting” untuk mengumpan bola ke penalti box di lapangan bola Kuningan sebagai “sayap kanan dan kapten” dari kesebelasan sepak bola Fakultas Sains yang menaklukkaan Fakultas Ekonomi di kejuaraan antar Fakultas di Universitas-nya tahun sebelumnya. Tapi Zapheeker mencoba secara tenang menjawab, “Baik Pak Kajur, saya akan lakukan.” Berbagai issues melintas di benak si Zapheeker seperti, “Apa-kah bahasa Inggris-ku cukup baik dan bisa di-mengerti Prof. Wilkinson?   Wah, malu pula awak ini nanti kalau salah2 menerang-kan tentang instrumen2 yang ada di Departemen kami.”

Banyak lagi pikiran2 yang membuat si Zapheeker "keder" dan dag-dig-dug untuk ketemu Prof. Wilkinson. Akhir-nya dia memutuskan dalam hati-nya, “Kalau-pun bahasa Inggris-ku belepotan, paling tidak aku coba sebaik mungkin berkomunikasi dengan dia. Mengenai salah menerangkan, aku-pun kan sudah baca Textbook2 bahasa Inggris yang sama dengan anak-murid di Amerika. Sejak SD-pun aku sudah less bahasa Inggris tiga kali seminggu dari kelas 6 SD dengan Pak Lik dan Sammy yang masing2 lulusan dari Oxford.” Zapheeker masih terus melamun, “Pak Jatohang di SMA dan Jatonang di SMP pun sudah jago-jago-nya mereka ngajarin aku berbahasa Inggris di sekolah di Medan. Tak usah takut-lah awak ini; hadapi aja apa adanya dan pantang mundur seperti yang sudah diajarkan bapakku, Jaradio.”

September sudah tiba, Professor Wilkinson muncul di Departemen dan si Zapheeker sebagai “tukang tour instrumen di departemen" selalu ngobrol dengan Professor Wilkinson dalam perjalanan dari satu ruang instrumen ke ruang instrumen lain.  Setelah selesai tour, Prof. Wilkinson bertanya, “Apakah anda murid atau staff pengajar disiini?” Zapheeker menjawab, “Saya bukan staff pengajar tetapi saya hanya assisten laboratory yang merawat instrumentasi disini.”

Prof. Wilkinson bertanya, “Apakah kamu berminat untuk mengejar Ph.D. degree di Amerika?”  Si Zapheeker menjawab, ”Saya sangat kepingin untuk belajar di Amerika tetapi orang tua kami bukan orang yang berada. Orang tua kami nggak bisa mengirim kami keluar dari Indonesia. Saat ini, mereka harus berjuang keras untuk bisa membiayai sekolah kami betiga anak2 mereka (Zasheqiu, Zalectro, dan Zapheeker) di Jakarta. Prof. Wilkinson berkata, “Oh .. Itu nggak ada masaalah! Kami bisa men-support anda dengan Teaching Assistanship (TA)).”

Si Zapheeker melongoh tak percaya dan berpikir, “Apa pulak kawan ini, apa betul dia serius atau hanya bercanda saja!”  Jantung si Zapheeker berdetak keras, kaki-nya bergetar, dan badan-nya merpertinggi produksi adrenaline. Si Zapheeker langsung bertanya, “Bolehkah anda jelaskan lebih banyak tentang apa itu yang anda maksud dengan Teaching Assistant?”

Prof. Wilkinson menjawab, “Yah….Semua murid2 pasca sarjana di Amerika mendapat dana TA atau RA. Untuk TA, murid2 pasca sarjana dapat gaji cukup untuk hidup tetapi mereka harus mengajar di laboratory tiga kali seminggu. Untuk RA, mereka dana dengan untuk melakukan riset; tetapi, RA fellowship sukar didapat murid pasca sarjana karena sangat kompetetif. Murid2 pasca sarjana mengajar sambil mengambil kuliah pasca sarjana mereka dan juga menyelesaikan riset Ph.D. desirtasi mereka.”

Si Zapheeker terheran-heran sambil gembira dan berkata dalam hati, “Wow, tak kusangka ini ada peluang yang baik bagiku.”  Zapheeker kemudian bertanya, “Prof. Wilkinson, apa yang harus saya lakukan untuk mendapat Teaching Assistantship? Prof. Wilkinson menjawab, “Petama-tama, saya harus menginterview anda tentang pengetahuan kimia anda dan kemampuan mu menerangkan apa yang ada di benak-mu ke saya!! Bisa kita cari ruangan yang ada papan tulis supaya saya bisa bertanya jawab dengan anda.” Memang Pak Kajur sebelumnya sudah mengingatkan Zapheeker bahwa Professor ini pengen bertemu dan meginteview seorang murid dan dua staff pengajar di departement-nya.

Setelah berada di ruang interview, Prof. Wilkinson berkata , “Coba kamu berdiri dekat papan tulis dan saya akan bertanya jawab dengan kamu tentang kimia. Prof. Wilkinson dan Zapheeker bertanya jawab sekitar satu jam. 

Setelah dia puas, dia bilang, “Ok, saya sudah puas. Silahkan duduk. Menurut opiniku, kamu bisa mengajar sebagai Teaching Assistant (TA) di departemen kami.  Saya akan menulis surat rekomendasi yang kuat untuk men-support applikasi kamu sebagai murid pasca sarjana dan TA di departemen kami. Kamu harus mengambil TOEFL alias Test of English as a Foreign Language dan GRE alias Graduate Record Examinations. Kamu akan saya kabari setelah saya pulang dari Indonesia.”

Setelah pertemuan selesai, Zapheeker keluar gedung dan duduk menyendiri tertegun berpikir di taman Fakultas Ekonomi yang berada didepan gedung Sains. Lima belas menit kemudian, dia keluar dari Univesitas menuju ke Salemba raya menuju ke halte bus ke Manggarai yang nyabung ke Saharjo ketempat indekos sewaan setelah pindah dari kamar kos2an di Salemba Tengah.

Sampe di kamar indekos, Zapheeker ketemu Zasheqiu lagi main “Radio Citizen Band (CB)” dan Zalectro yang sedang santai dengan menyulut rokok Dji Sam Soe-nya. Jasekui medarat dari udara sewaktu mendengar Zapheeker bercerita tentang kemungkinan bahwa ada peluang untuk dia meneruskan sekolah ke Amerika. Zapheeker bercerita tentang pengalaman-nya di interview oleh Professor Wilkinson.

Janji Prof. Wikinson itu memang betul. Zapheeker menerima surat dan formulir aplikasi ke Universitas di Amerika dari Prof. Wilkinson. Zapheeker langsung sibuk untuk persiapan TOEFL dan GRE. Pertengahan December, formulir aplikasi dan semua sarat2 untuk masuk ke Program Paska Sarjana sudah dikirim ke Amerika.

Zapheeker masih melakukan riset untuk sarjana sampai bulan April tahun berikutnya. Awal bulan May, Zapheeker mendapat surat tipis dari Universitas di Amerika yang menyatakan, “Selamat! Anda telah diterima di Program Pasca Sarjana di bidang Kimia. Anda juga diberikan Teaching Assistantship dengan dana sebeasar $X,XXX/tahun. Kami berharap anda bereda di departemen kami pada awal bulan Agustus.

Zapheeker hampir tak percaya dengan isi surat dari Amerika ini. Zapheeker dan abang-nya memanjatkan Doa syukur ke Tuhan Yang Maha Kuasa yang dipimpin oleh Zasheqiu. Mereka merenung-kan bahwa memang jalan hidup seseorang memang tak ada yang bisa tahu. Zapheeker berangkat sekolah ke Amerika awal bulan Augustus tahun itu.

Zapheeker percaya bahwa nasib itu dibangun perlahan-lahan dengan rekam jejak secara tidak sadar. Ada pula Louis Pasteur yang berkata “Chance only favors the prepared mind” (Terjemahan bebas: Peluang hanya menuju ke orang yang sudah siap menerima-nya).

Tapi apa pun yang terjadi ke Zapheeker dia hanya bisa bersyukur ke Tuhan Yang Maha Kuasa!!!

Salam Sejahtera!!

v.v

Sahabat Baru dan Lama, Ayam Goreng, dan Soto Madura


Oleh: Zapheeker Sina Otto


Setiba di Juanda International Airport Surabaya (SUB) minggu sore sekitar jam 1:00, aku di jemput oleh Pak Fanri salah seorang kolega dari Universitas di Surabaya. Setelah kuambil koperku dari Baggage Claim, aku menuju ke arah pintu keluar Bandara Juanda dengan berjalan perlahan-lahan sambil men-scan dengan mata yang tajam kearah para penjemput di Bandara kalau2 aku bisa men-lihat Pak Fanri yang sudah berjanji menjemput-ku. 


Hanya sekitar sepuluh langkah keluar dari pintu, Pak Fanri sudah melambaikan tangan sambil menyongsong ku dan aku menyapanya dengan senyum. Setelah berpapasan, kami sama2 mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan erat sambil serentak ber-kata “Apakhabar Pak!!!”

“Makasih Pak sudah menjemput saya” ku ucapkan ke Pak Fanri.

“No Problem” jawab-nya.

“Tunggu disini yah Pak Jab, saya ambil mobil dari parkiran” kata Pak Fanri.



 
Setelah menunggu beberapa menit, kulihat Pak Fanri berheti didepan ku dengan mobil-hemat-kecil Suzuki Silver. Setelah kami masukkan koper ke bagasi, kami berjalan menuju keluar bandara.

Pak Fanri: “Sudah makan siang Pak Jab?”

Kujawab:  “Belum!!”

Pak Fanri: “Mau makan apa?”

Kujawab: “Yang simpel2 aja!”
 
Kami berhenti di restoran yang terkenal dengan ayam goreng nya di Surabaya. Kami menikmati ayam goreng, sayuran, sambal, gudeg, dan kerupuk yang dimakan dengan nasi putih hangat. Makanan terasa men-trigger sensasi ingatan makanan khas Indonesia di otak-ku. Keringat-pun bercucuran di jidat dan pipiku.

Memang beraneka ragam makanan adalah salah satu unsur yang kunimati di Indonesia. Sebenarnya, tahun lalu aku sudah pernah ke Surabaya untuk memberi kuliah di Universitas yang sama. Pak Fanri mempunyai ide yang baik untuk memperluas wawasan murid2nya untuk berinteraksi dengan dosen2 International. Aku ketemu Pak Fanri secara kebetulan di salah satu acara di Universitas di Semarang. Setelah pertemuan ini kami menjadi sahabat baik dan sering saling tukar pikiran tentang tridharma perguruan tinggi ke arah yang lebih positve.   

Setelah selesai makan siang, aku di drop Pak Fanri ke Hotel yang yang berada dekat ke Universitas-nya. Setelah, mandi dan istirahat sejenak, aku mendapat WA dari si Zali kawan sebangku di SMA di Medan yang pindah tahun lalu dari Jakarta ke Surabaya. Si Zali and aku belum pernah ketemu setelah masing2 mencar dari Medan ke Jakarta dan Bandung beberapa decade lalu. Kami bertemu di Lobby Hotel dan saling merangkul mengingat persahabatan lama kami. Kami masing2 tersenyum gembira sejenak tanpa kata2.


Setelah ngobrol setengah jam, kami jalan kaki keluar Hotel ke restoran di sebelah Hotel-ku. Aku menikmati Soto Madura dan si Zali menikmati sate yang di pesan-nya. Kami ngobrol ngalor-ngidul sampe jauh malam hari dan restoran-pun sudah kosong. Di luar restoran, kami meminta Pak SatPam mengambil foto kami berdua dibawah Sign dari Restoran yang kami singgahi dengan kamera masing2.  Kami berjalan kembali ke Hotel dan si Zali dengan simple Good Bye berjalan menuju parkiran di belakang Hotel dan aku menuju ke lift untuk naik ke kamar ku.

Si Zali masih sama saja seperti yang ku ingat dari dulu yang selalu santun, relax, dan cerdas (alias sharp kalo kata orang Amrik). Sewaktu SMA, memang Zali adalah anak yang lebih pintar dari aku; karena waktu SMA nilai2 ku hanya rata2 dibandingkan si Zali.  Entah kenapa dan mungkin takdir, otak ku mulai terbuka untuk bisa menerima ilmu yang kupelajari setelah aku kuliah di Jakarta. Bedanya sekarang, kami berdua sudah mulai di dekorasi dengan “Silver Lining” di kepala.

Suka-duka perjuangan hidup membuat kita sadar bahwa persahabatan lama dan baru harus tetap di nikmati dan di jaga keberlangsungan-nya. Seperti kata orang bijak, “After all, life is short, we should enjoy it and not waste it with unproductive things.” 

Salam Sejahtera!!

v.v 
 


 













Saturday, October 17, 2015

Creatures of Habit

Oleh: Zapheeker Sina Otto

Kata-nya, “Humans are creatures of habit” (Terjemahan bebas: Manusia adalah mahluk berkebiasaan).

Pernahkan anda berkunjung ke Negara yang lalu-lintasnya berjalan di sebelah kanan?

Kalau pernah, apakah anda pernah melakukan hal2 seperti yang ku sebutkan dibawah ini?



Waktu baru tiba di Negara Paman Sam, di kampus pada waktu pergantian kelas menuju ke kelas berikut, aku selalu ber-benturan di tangga dan side walk sama banyak murid2 lain yang juga menuju ke kelas mereka masing. Kok bisa begitu?  

Yah, pasti bisa begitu, karena aku jalan kaki di sebelah kiri dan mereka dengan berlawanan arah berjalan di sebelah kanan. Jadi hampir setiap saat terdengar kata2 “Please excuse me!” atau “Excuse Me!” atau “Pardon me” atau “Sorry!” dari mulut murid2 lain yang berpapasan dengan ku. Waktu itu aku masih binun2 saja, seperti “Deer in the headlights” 

Fast forward beberapa decade, beberapa tahun lalu aku kedatangan dua murid (suami dan istri) dari Indonesia yang kedua duanya akan melakukan riset selama 2 tahun di laboratoryku. Karena mereka membawa dua anak, maka mereka membutuhkan mobil untuk kebutuhan transportasi se-hari2.
Untuk membeli mobil second hand (Pre-owned car), pembeli mobil harus punya surat ijin mengemudi (SIM) terlebih dahulu. Jadi aku sarankan Mas Wawan untuk ujian mengambil SIM di division of motor vehicles (DMV).

Dia kuantar dengan truck-ku ke DMV untuk ujian tulisan mendapat SIM. Dia dengan mudah lulus ujian tulisan tersebut. Kalo nggak salah, syaratnya dia harus menjawab 20 pertanyaan dan dia hanya boleh salah jawab 3 pertanyaan. Aku sudah lupa karena nggak pernah ngambil ujian lagi sejak dulu2.
  
Setelah lulus ujian tulisan ini, dia harus mengambil ujian praktek. Jadi Mas Wawan bilang  ke saya, “Pak Jab, boleh ku pinjam Truck mu untuk test praktek SIM?” Kujawab, “Mas nanti dulu, Mas praktek dulu dengan truck saya beberapa hari, baru Mas balik kuantar lagi ke DMV untuk ujian praktek.” Dengan percaya diri, Mas Wawan bilang, “Ah, kan saya sudah lama nyetir di Jakarta. Saya pengen cepat dapat SIM; kalau bisa hari ini juga!” 
 



Ku pikir2, “Betul juga yah. Dia kan anak Jakarta yang sudah pengalaman nyetir di jalan2 sempit di Jakarta.” Secara jujur, aku sangat salut sama pengemudi2 mobil di Indonesia, apalagi di Jakarta. Dengan ruang sempit mereka bisa megukur dengan tepat bahwa mobil mereka bisa masuk tanpa nyenggol-sana nyenggol-sini. Jujur2 saja, aku sendiri tak berani nyetir di Medan apalagi di Jakarta.
Setelah kunci truck ku berikan ke Mas Wawan, dia masuk ke kantor DMV untuk meminta supaya di uji praktek menyetir. Karena udara sangat segar dan cerah, aku menuggu di bangku taman di daerah parkiran dihalaman DMV. Aku duduk dekat dimana truck ku di parkir, kulihat Mas Wawan datang dengan seorang penguji yang memegang clip-board.


Mas Wawan dan penguji naik ke truck ku dan aku hanya nogkrong di bangku taman mengamati mereka. Mula2 Mas Wawan di suruh maju dan mundur dan kemudian “parallel parking.” Memang benar, anak Jakarta pada jago nyetir; dia lulus semua ujian yang berada di parking lot tanpa problem.

Setelah selesai ujian di parking lot, Pak Penguji di bangku penumpang meminta Mas Wawan untuk menyetir keluar parking lot menuju ke jalan raya. Pak penguji meminta Mas Wawan belok ke kiri ke jalan raya yang cukup besar. Dengan lugas Mas Wawan langsung belok kekiri ke jalan yang paling kiri yang paling dekat dengan dia, seperti nyetir di Jakarta.

Melihat hal ini dari bangku taman, aku langsung menutup mataku dan berseru “Ohhh No!!! Kemudian kudengar banyak suara2 kleskon dan jeritan suara ban2 yang bergesekan dengan aspal karena para pengemudi mengerem mobil2 mereka untuk menghidari tabrakan dengan truck ku yang di setir Mas Wawan. Beberapa mobil lain bisa  meghindari truck tanpa ada terjadi kecelakaan. Mas Wawan menyetir kearah berlawanan alias “THE WRONG WAY”.

Kulihat Mas Wawan meminggirkan truck ku ke  bahu jalan dan Pak penguji mengambil alih posisi sopir dan menyetir truck untuk balik keparking lot. Setelah dia memberi kunci truck ke Mas Wawan, Pak Penguji berkata ke Mas Wawan, “You failed the test!! Come back when you are ready!!!”. Pak penguji kelihatan murung, mungkin dia juga dak-dik-duk waktu disetir ke arah “THE WRONG WAY.”

Setelah Mas Wawan berlatih membiasakan menyetir truck ku beberapa hari, dia lulus ujian praktek untuk dapat SIM.

Akupun kalo berkunjung ke Indonesia, suka salah kaprah kalo mau naik mobil sebagai penumpang. Aku selalu jalan menuju ke pintu sebelah kanan depan dari mobil yang akan kutumpangi. Terkadang Abangku yang akan menyetir selalu bercanda, “Mau nyetir kau Jab!!” Sama seperti cerita Mas Wawan, kebiasaan ku pun sukar dirubah secara otomatis.

Akupun kalo mau nyebrang jalan di Indonesia, tanpa sadar selalu menengok ke kiri dulu baru ke kanan. Yang seharusnya di Indonesia, aku harus menengok ke kanan dulu karena kenderaan yang terdekat dengan aku berada di sebelah kanan. Sama saja kalau mau turun tangga bus ke aspal jalan di Indonesia, seharusnya pake kaki kiri bukan kaki kanan seperti di Amrik.

Memang begitulah, kebiasaan (habit) kita yang memang tidak mudah di rubah secara otomatis. Untuk merubahnya, kita butuh waktu untuk beradaptasi karena pada hakekatnya kita adalah “creatures of habit.”

Salam Sejahtera!

v.v

Friday, October 16, 2015

Makanan, Sahabat, dan Perpustakaan

Oleh: Zapheeker Sina Otto



Jam 12:30 kelas baru selesai dan perut si Japikkir sudah keroncongan. Dia mengajak sahabat baik-nya Ruhe Sangkoso untuk bersantap siang. Ruhe adalah anak mahasiswa seangakatan-nya yang berasal dari Nganjuk, Jawa Timur. Kenapa Japikkir “Anak Medan” bisa berteman baik dengan “Anak Nganjuk”? Siapa yang tau. Mungkin, mereka berdua selalu blak-blak-an satu sama lain dalam memberi dan menerima pendapat masing2.

Sebagai orang yang merantau, tentunya, Japikkir dan Ruhe memilih tempat yang berkategori "Murah Meriah” untuk tempat makan siang. Keputusannya pada saat itu adalah "WarTeg" (Warung Tegal) di dekat Fakultas Teknik.

Setelah menyelisip diantara bangku panjang dan kain penghadang matahari, Japikkir dan Ruhe mendapat tempat duduk yang boleh dikatakan strategis tetapi dekat ke tungku masakan. "Standard Pesanan" mereka berdua adalah: satu mangkok sup daging, seporsi nasi, satu sambal telor-ayam, dan teh untuk minuman.

Pesanan mereka segera datang dengan cepat, lebih cepat dari fast-food McDonald. Ruhe dan Japikkir menikmati makanan “WarTeg “yang hangat dengan keringat yang mencucur dari dahi dan pipi. Mereka tidak tahu apakah keringat ini disebabkan oleh kepanasan duduk dekat tungku pada terik matahari Salemba, atau memang sambal telor-ayam yang men-trigger pelepasan hormon endorphins di otak mereka berdua. Regardless, makanan siang ini mereka nikmati secara physical dan spiritual.

Setelah selesai makan, Ruhe mengeluarkan dari kantongnya rokok Dji Sam Soe (234 = 9) yang berbungkus warna kuning-lumpur, dan menyulut rokok tersebut. Setelah menarik asap rokok tersebut kedalam paru-parunya sedalam mungkin, dia secara artistic melepaskan asap rokok tersebut melalui hidung dan mulut. Dia tidak menawarkan Dji Sam Soe-nya ke Japikkir, karena dia sudah tau bahwa si Japikkir tidak suka merokok.

Setelah bayaran, mereka berdua keluar dari “WarTeg” dengan melangkah pelan-pelan di jalan aspal yang sejajar dengan Fakultas Teknik menuju ke arah Bengkel dengan tujuan akhir ke perpustakaan Fakultas Ekonomi. Mereka melewati Kantor Pos dan Posko MenWa. Sewaktu berjalan menuju ke perpustakaan, mereka selalu ber-philosophi, berdebat, dan tukar pikiran tentang hidup secara general, science (i.e., Kimia dan Fisika), dan musik (Jazz dan Rock).

Sesampai di Perpustakaan Fakultas Ekonomi, mereka berdua masuk ke ruangan di sebelah kiri yang tidak ber "air conditioned" yang bisa digunakan oleh murid-murid yang bukan dari Fakultas Ekonomi. Kesebelah kanan, ada ruangan kaca yang besar dilengkapi dengan "air conditioned" yang di designasi khusus hanya untuk murid-murid Fakultas Ekonomi. Kalau masuk ke perpustakaan ini si Ruhe selalu ngedumel ke si Japikkir, “Huh……usia masih muda kita2 ini sudah deperkenalkan dengan cara2 elitisme seperti ini.”  Japikkir selalu membalas, “Sudahlah Rek, tak usah dipikirkan, yang jelas kita diperbolehkan memakai fasilitas mereka sampai malam hari.”

Setelah duduk di kursi pilihan masing-masing, mulai-lah mereka membaca buku-buku text yang berbahasa Inggris untuk ujian2 yang akan mereka tempuh seminggu mendatang. Kedua mahasiswa ini membaca text books berbahasa Inggris untuk memaksakan mempertajam kemampuan mereka bahasa Inggris. Tidak jarang setelah membaca selama dua jam mereka terkantuk-kantuk karena panasnya udara di perpustakaan dan terlena dengan kepala yang terletak di meja perputakaan. Tiba-tiba, Ruhe membangunkan Japikkir dari mimpi yang indah sedang berlanglang buana di negara Uncle Sam dan berkata "Hei bangun!!"…...."Yok ... ngopi dan makan tahu goreng...!!!"  Sambil terbangun si Japikkir mengigau dan berkata ke Ruhe, “Bah.. masih di Salemba aku rupanya!” Ruhe hanya bisa tersenyum dan berkata, “Bermimpi disiang bolong saja kerjamu Japikkir!!” 

Mereka meninggalkan buku-buku di perpustakaan dan berjalan menuju ke Fakulats Teknik dengan memakai jalan aspal yang digunakan sebelumnya. Kali ini mereka nongkrong di “WarTeg” yang mem-fasilitasi-kan goreng-gorengan termasuk tahu, tempe, ubi, dan pisang goreng. WarTeg ini juga menyidangkan kopi tubruk, kopi susu, dan teh manis.

Biasanya mereka berdua mempunyai "Pesanan Special" yang sudah dikenali oleh pemilik warung. Special Order ini adalah tahu yang digoreng "60% mateng" sampai sebelum membentuk kulit luar yang crispi.  Tahu ini dimakan dengan kecap manis ABC dan cabe rawit hijau yang di-iris kecil-kecil oleh bapak pengelola WarTeg. 

Perjalanan tahu ini melalui tenggorokan dilancarkan dengan penegukan kopi tubruk manis. Fungsi kopi manis ini juga untuk menetralisasikan kepedasan yang di stimulasi oleh cabe rawit yang di kunyah mereka. Seperti makan siang, sebelumnya, mereka mengulangi kembali "ritual" keringat dan stimulasi produksi Endorphins di otak.

Seperti biasa, Ruhe menyulut Dji Sam Soe dengan cara khas-nya; tetapi kali ini dia mengambil bubuk kopi tubruk nya dan mengoles bubuk kopi ini di rokok Dji Sam Soe nya. Hanya dia yang tahu apa effek dari bubuk kopi ke rokok Dji Sam Soe yang di-sulutnya. Setelah selesai makan tahu dan ngopi mereka kembali ke perpustakaan menekuni buku-buku sampai Jam 10:00 malam.

Setelah mengumpulkan buku-buku, mereka keluar dari Perpustakaan menuju ke arah Salemba Raya dengan melalui Taman Fakultas Ekonomi. Terkadang mereka bersapa dengan Bang "Siregar" yang menguasai daerah Taman. Bang Regar adalah Alumni FE yang belajar di UC Berkeley tetapi pulang ke Indonesia tanpa degree. 

Menurut cerita yang disinyalir dari mulut-ke-mulut, Abang Regar ini pikirannya agak terganggu karena dia kembali ke Indonesia tanpa meraih PhD degree dari UC Berkeley. Kalau ketemu Bang Regar, Ruhe pasti menawarkan rokok ke-dia. Japikkir dan Ruhe langsung merogoh kantong masing-masing kalau ada sisa koin-koin dikantong se-habis makan tahu di WarTeg untuk diberikan ke Bang Regar.

Setelah keluar gerbang disamping Mesjid Universitas, mereka menyebrang Salemba Raya dengan menggunakan Sky-Walk. Dengan “Simple Goodbye Gesture”, Japikkir turun tangga ke kanan dan Ruhe turun tangga ke kiri. Ruhe berjalan menuju Halte Bus yang menuju ke Rawamangun dimana dia tinggal di Asrama Universitas. Japikkir langsung berjalan kaki ke Salemba Tengah menuju rumah Indekos-nya. Ritual ini mereka ulangi ber-tahun tahun sampai mereka selesai kuliah. 

Kedua sahabat ini dipisahkan oleh mimpi2 mereka masing. Ruhe mengejar mimpinya bekerja dengan perusahaan Multinational dan Japikkir pergi mengejar yang pernah diimpikannya di siang bolong.